Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Berbicara mengenai demokrasi, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki banyak pengalaman tentang demokrasi. Sudah ada tiga jenis demokrasi yang pernah diterapkan di Indonesia, yaitu presidensial, terpimpin, dan parlementer.
Dari ketiga jenis demokrasi itu, yang menjadi pembuka lembaran sejarah Indonesia adalah demokrasi parlemeter yang dimulai sejak tanggal 14 November 1945 sampai dengan 5 Juli 1959.
Dari ketiga jenis demokrasi itu, yang menjadi pembuka lembaran sejarah Indonesia adalah demokrasi parlemeter yang dimulai sejak tanggal 14 November 1945 sampai dengan 5 Juli 1959.
Melihat demokrasi parlementer yang menjadi tonggak awal pelaksanaan demokrasi di Indonesia, maka sudah selayaknya kita sebagai generasi penerus Indonesia mengenal bagaimana proses permulaan dan lika-liku yang mewarnai perjalanan demokrasi kita. Kali ini admin akan menjabarkan pelaksanaan masa-masa pasca revolusi kemerdekaan (1945-1959) atau demokrasi parlementer.
Dengan adanya pengetahuan sejarah yang baik, maka diharapkan dapat menghantarkan kita menemukan jati diri untuk menentukan demokrasi yang pas untuk diterapkan di Indonesia. Dari sejarah itu pula kita bisa memetik pengalaman yang berharga guna menentukan arah demokrasi Indonesia di masa yang akan datang.
Setelah bangsa Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 agustus 1945 dan dengan disahkannya UUD 1945 sebagai konstitusi negara, pancasila sebagai dasar negara, perjuangan pada masa pasca proklamasi adalah mempertahankan dan mengisi kemerdekaan bangsa.
Salah satu cara untuk mengisi kemerdekaan adalah dengan mempertahankan kemerdekaan bangsa yang telah lama diraih oleh pejuang-pejuang bangsa. Cara mempertahankannya sendiri adalah diantaranya dengan mempelajari sejarah pelaksanaan demokrasi di Indonesia sehingga dapat dijadikan tolak ukur dalam penentuan sistem pemerintahan yang baik, yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa. Dengan belajar dari sejarah, kita dapat memetik ilmu serta dapat menganalisis baik buruknya dampak yang ditimbulkan dari berbagai pelaksanaan demokrasi yang berbeda-beda di Indonesia.
Menurut sejarahnya, bangsa indonesia pernah menerapkan tiga model demokrasi, yaitu demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dan demokrasi pancasila. Setiap fase tentunya memiliki karakteristik yang merupakan ciri khas dari pelaksanaan tiap-tiap tiap fase demokrasi. Namun, untuk pembahasan kali ini admin akan mengkhususkan pembahasan mengenai pelaksanaan demokrasi di Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer 1945 – 1959.
Sebelum menginjak ke pembahasan selanjutnya, terlebih dulu admin akan memaparkan mengenai pengertian dan ciri-ciri dari demokrasi parlementer itu sendiri.
Demokrasi Parlementer (liberal)
Demokrasi Parlementer (liberal)
Demokrasi Parlementer (liberal) adalah suatu demokrasi yang menempatkan kedudukan badan legislatif lebih tinggi daripada badan eksekutif. Kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Perdana menteri dan menteri-menteri dalam kabinet diangkat dan diberhentikan oleh parlemen. Dalam demokrasi parlementer Presiden menjabat sebagai kepala negara. Demokrasi liberal dikenal pula sebagai demokrasi parlementer karena pada saat itu berlangsung sistem pemerintahan parlementer dan berlaku UUD 1945 periode pertama, konstitusi RIS, dan UUDS 1950.
Ciri - ciri dari demokrasi parlementer
Ciri - ciri dari demokrasi parlementer
Berikut adalah beberapa ciri dari demokrasi parlementer :
- Kedudukan DPR lebih kuat atau lebih tinggi daripada pemerintah
- Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh kabinet/Dewan menteri dibawah pimpinan Perdana menteri dan bertanggung jawab pada parlemen.
- Presiden hanya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan dipegang Perdana Menteri.
- Program kebijakan kabinet disesuaikan dengan tujuan politik anggota parlemen
- Kedudukan kepala negara terpisah dari kepala pemerintahan, biasanya hanya berfungsi sebagai simbol negara
- Jika pemerintah dianggap tidak mampu, maka anggota DPR dapat meminta mosi tidak percaya kepada parlemen untuk membubarkan pemerintah
- Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh badan pengadilan yang bebas.
Secara garis besar, pelaksanaan demokrasi parlementer ini terbagi ke dalam tiga periode :
- Periode pertama pada kurun waktu 1945-1949,
- Kedua pada kurun waktu 1949-1950,
- Ketiga yakni dalam kurun waktu 1950-1959.
Mari kita ulas satu-persatu Demokrasi Parlementer yang telah terjadi di Indonesia
1. Pada masa pasca revolusi kemerdekaan (18 Agustus 1945-27 Desember 1949)
Pada masa ini ternyata masih terbagi lagi ke dalam dua periode, yakni:
- 18 Agustus 1945-14 November 1945 dimana berlaku sistem pemerintahan presidensiil, dan
- 14 November 1945 - 27 Desember 1949 dimana berlaku sistem pemerintahan parlementer.
Tanggal 17 Agustus 1945, tepatnya pada awal-awal deklarasi kemerdekaan Indonesia, Indonesia menjalankan sistem presidensial dengan bentuk negara kesatuan yang berbentuk republik (sesuai dengan pasal 1 ayat 1 UUD 1945) yang menyatakan bahwa Presiden memiliki kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan.
Pada tanggal 23 Agustus 1945, Belanda dan negara sekutu mendarat di Indonesia. Negara lain bermaksud untuk mengamankan Indonesia pasca revolusi kemerdekaan. Sementara lain halnya dengan Belanda yang bermaksud untuk kembali menguasai Indonesia. Sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia menghadapi berbagai rongrongan untuk mempertahankan kemerdekaannya.
Padahal pada masa ini terdapat indikasi dan keinginan kuat dari para pemimpin negara untuk membentuk pemerintahan demokratis. Namun karena Indonesia harus berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan maka belum bisa sepenuhnya mewujudkan pemerintahan demokratis sesuai dengan UUD 1945.
Akhirnya dalam perjalanannya terjadilah berbagai penyimpangan-penyimpangan. Contohnya saja beberapa bulan setelah Proklamasi kemerdekaan adanya kesempatan besar untuk mendirikan partai politik, sehingga bermunculah partai-partai politik Indonesia. Dengan demikian kita kembali kepada pola sistem politik multipartai.
Padahal pada masa ini terdapat indikasi dan keinginan kuat dari para pemimpin negara untuk membentuk pemerintahan demokratis. Namun karena Indonesia harus berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan maka belum bisa sepenuhnya mewujudkan pemerintahan demokratis sesuai dengan UUD 1945.
Akhirnya dalam perjalanannya terjadilah berbagai penyimpangan-penyimpangan. Contohnya saja beberapa bulan setelah Proklamasi kemerdekaan adanya kesempatan besar untuk mendirikan partai politik, sehingga bermunculah partai-partai politik Indonesia. Dengan demikian kita kembali kepada pola sistem politik multipartai.
Pada zaman awal kemerdekaan ini, partai politik tumbuh menjamur dengan berbagai haluan ideologi politik yang berbeda satu sama lain. Hal ini dikarenakan adanya Maklumat Pemerintah Republik Indonesia 3 November 1945 yang berisi anjuran mendirikan partai politik dalam rangka memperkuat perjuangan kemerdekaan. Akhirnya secara resmi muncul 10 partai politik. Bukan hanya itu, tetapi penyimpangan konstitusional juga sempat terjadi dengan berubahnya sistem kabinet presidensiil menjadi sistem kabinet parlementer atas usul badan pekerja KNIP yakni pada tanggal 11 November 1945.
Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya Maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945 yang mengubah sistem pemerintahan presidensiil menjadi parlementer berdasarkan asas-asas demokrasi liberal yang di pimpin oleh perdana mentri Syahrir. Dalam kabinet ini mentri-mentri tidak lagi menjadi pembantu dan bertanggung jawab kepada Presiden, tetapi bertanggung jawab kepada KNIP.
Disamping itu, KNIP menjadi lembaga yang menjadi cikal bakal DPR yang berfungsi sebagai badan legislatif. Hal ini sesuai dengan Pasal 4 Aturan Peralihan dalam UUD 1945 dan maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 yang memutuskan bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan bersama-sama dengan Presiden berfungsi menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Hal ini dilakukan karena MPR dan DPR belum terbentuk.
Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya Maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945 yang mengubah sistem pemerintahan presidensiil menjadi parlementer berdasarkan asas-asas demokrasi liberal yang di pimpin oleh perdana mentri Syahrir. Dalam kabinet ini mentri-mentri tidak lagi menjadi pembantu dan bertanggung jawab kepada Presiden, tetapi bertanggung jawab kepada KNIP.
Disamping itu, KNIP menjadi lembaga yang menjadi cikal bakal DPR yang berfungsi sebagai badan legislatif. Hal ini sesuai dengan Pasal 4 Aturan Peralihan dalam UUD 1945 dan maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 yang memutuskan bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan bersama-sama dengan Presiden berfungsi menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Hal ini dilakukan karena MPR dan DPR belum terbentuk.
Bagi bangsa Indonesia, hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan hak yang harus dipertahankan dan diperjuangkan. Sebagai konsekuensinya, banyak perlawanan-perlawanan dari rakyat kepada tentara sekutu dan NICA dimana-mana. Terbukti dengan adanya pertempuran di Bandung, Surabaya, dan tempat-tempat lain yang mereka datangi.
Munculnya perlawanan-perlawanan sengit tersebut memaksa Belanda melakukan perundingan dan perjanjian dengan Indonesia. Akhirnya setelah melalui perjuangan panjang, Belanda mau mengakui kedaulatan Indonesia dengan disetujuinya perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 27 Desember 1949 di Istana Dam, Amsterdam.
Namun, bangsa Indonesia harus menerima berdirinya negara yang tidak sesuai dengan cita-cita proklamasi dan kehendak UUD 1945, sehingga Negara Kesatuan Republik Indonesia berubah menjadi Negara Republik Indonesia Serikat berdasarkan konstitusi RIS.
Namun, bangsa Indonesia harus menerima berdirinya negara yang tidak sesuai dengan cita-cita proklamasi dan kehendak UUD 1945, sehingga Negara Kesatuan Republik Indonesia berubah menjadi Negara Republik Indonesia Serikat berdasarkan konstitusi RIS.
Kurun waktu kedua (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950)
Pada periode ini sistem pemerintahan Indonesia masih menggunakan sistem pemerintahan parlementer yang merupakan lanjutan dari periode sebelumnya (1945-1949). Dalam sistem parlementer, artinya kabinet bertanggung jawab kepada parlemen (DPR).
RIS intinya terdiri dari negara-negara bagian dan kesatuan kenegaraan. Berubahnya NKRI menjadi negara RIS merupakan konsekuensi diterimanya hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dituangkan dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Hal ini karena adanya campur tangan dari PBB yang memfasilitasinya.
Wujud dari campur tangan PBB tersebut adanya konfrensi KMB yaitu:
Wujud dari campur tangan PBB tersebut adanya konfrensi KMB yaitu:
- Indonesia merupakan Negara bagian RIS
- Indonesia RIS yang di maksud Sumatera dan Jawa
- Wilayah diperkecil dan Indonesia di dalamnya
- RIS mempunyai kedudukan yang sama dengan Belanda
- Indonesia adalah bagian dari RIS yang meliputi Jawa, Sumatera dan Indonesia Timur.
Berdasarkan Konstitusi RIS yang menganut sistem pemerintahan parlementer ini, Kekuasaan negara terbagi dalam 6 lembaga negara (alat-alat kelengkapan federal RIS) yakni sebagai berikut:
- Badan Eksekutif yakni Presiden dan Menteri-menteri
- Badan Legislatif yang dibagi menjadi dua bagian yakni Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat, dan,
- Badan Yudikatif terdiri dari Dewan Pengawas Keuangan dan MA.
Rancangan konstitusi RIS pada saat itu berada di bawah pengawasan PBB, dengan menetapkan :
1) Menentukan negara yang berbentuk serikat (federalistis) yang dibagi dalam 16 daerah bagian, yakni :
- Negara Republik Indonesia
- Negara Indonesia Timur
- Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta
- Negara Jawa Timur
- Negara Madura
- Negara Sumatera Timur
- Negara Sumatera Selatan
Di samping itu, ada juga wilayah yang berdiri sendiri (otonom) dan tak tergabung dalam federasi, yaitu :
- Jawa Tengah
- Kalimantan Barat (Daerah Istimewa)
- Dayak Besar
- Daerah Banjar
- Kalimantan Tenggara
- Kalimantan Timur (tidak temasuk bekas wilayah Kesultanan Pasir)
- Bangka
- Belitung
- Riau
2) Konstitusi RIS menentukan sifat pemerintahan yang liberalistis atau pemerintahan yang berdasarkan demokrasi parlementer.
3) Mukaddimah konstitusi RIS telah menghapuskan semangat jiwa, maupun isi pembukaan UUD proklamasi.
Sebenarnya dari awal tidak seluruh rakyat setuju terhadap pemberlakuan sistem pemerintahan parlementer yang menggunakan konstitusi RIS, namun keadaanlah yang memaksa demikian. Banyak aturan di dalam konstitusi tersebut yang menyimpang dari isi jiwa dan cita-cita bangsa Indonesia.
Selain itu, dasar pembentukannya juga sangat lemah dan tidak didukung oleh suatu ideologi yang kuat dan satu tujuan kenegaraan yang jelas Oleh karena tidak mendapatkan dukungan rakyat terhadap sistem pemerintahan ini, akhirnya dalam waktu singkat RIS mulai goyah. Sistem federal seperti apapun juga telah dianggap rakyat sebagai alat Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia agar Belanda dapat berkuasa di Indonesia, sehingga tanggal 17 Agustus 1950 Presiden Soekarno menyatakan kembali ke Negara Kesatuan dengan UUDS 1950.
Selain itu, dasar pembentukannya juga sangat lemah dan tidak didukung oleh suatu ideologi yang kuat dan satu tujuan kenegaraan yang jelas Oleh karena tidak mendapatkan dukungan rakyat terhadap sistem pemerintahan ini, akhirnya dalam waktu singkat RIS mulai goyah. Sistem federal seperti apapun juga telah dianggap rakyat sebagai alat Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia agar Belanda dapat berkuasa di Indonesia, sehingga tanggal 17 Agustus 1950 Presiden Soekarno menyatakan kembali ke Negara Kesatuan dengan UUDS 1950.
C. Kurun waktu ketiga (17 Agustus 1950-5 Juli 1959)
Pada tanggal 17 Agustus 1950 negara RIS secara resmi dibubarkan. Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, terjadi demo besar-besaran menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan berdasarkan UUD Sementara 1950.
Menurut UUD ini, sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahan parlementer. Dalam kabinet parlementar, para menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Oleh karena itu, jatuh bangunnya kabinet sangat tergantung pada parlemen.
Hal ini menyebabkan ketidakstabilan politik, terbukti dengan adanya perpecahan daerah, pertentangan antar partai, bahkan pemberontakan di daerah-daerah seperti pemberontakan DI/TII di berbagai kota, pemberontakan APRA, pemberontakan RMS, pemberontakan PPRI dan Permesta yang tidak dapat dielakkan lagi. Masalah sering terjadinya pergantian kabinet pun tak urung menjadi salah satu penyebab kekacauan yang ada.
Dalam sejarahnya saja sudah tercatat dalam kurun waktu sekitar 9 tahun Indonesia telah berganti kabinet sebanyak 7 kali. Kabinet-kabinet tersebut diantaranya :
Hal ini menyebabkan ketidakstabilan politik, terbukti dengan adanya perpecahan daerah, pertentangan antar partai, bahkan pemberontakan di daerah-daerah seperti pemberontakan DI/TII di berbagai kota, pemberontakan APRA, pemberontakan RMS, pemberontakan PPRI dan Permesta yang tidak dapat dielakkan lagi. Masalah sering terjadinya pergantian kabinet pun tak urung menjadi salah satu penyebab kekacauan yang ada.
Dalam sejarahnya saja sudah tercatat dalam kurun waktu sekitar 9 tahun Indonesia telah berganti kabinet sebanyak 7 kali. Kabinet-kabinet tersebut diantaranya :
1. Kabinet Natsir (7 September 1950-21 Maret 1951)
Kabinet ini dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir (Masyumi) sebagai perdana menteri. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi yang dipimpin Masyumi.
Program kerja :
Program kerja :
a. Menggaitkan usaha mencapai keamanan dan ketentraman
b. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat
c. Mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan umum untuk Konstituante.
d. Mencapai konsolidasi dan penyempurnaan susunan pemerintahan serta membentuk peralatan negara yang kuat dan daulat.
e. Menyempurnakan organisasi Angkatan perang dan pemulihan bekas – bekas anggota tentara dan gerilya dalam masyarakat.
f. Memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat secepatnya.
g. Mengembangkan dan memperkokoh kesatuan ekonomi rakyat sebagai dasar bagi pelaksanaan ekonomi nasional yang sehat.
h. Membantu pembangunan perumahan rakyat serta memperluas usaha – usaha meninggikan derajat kesehatan dan kecerdasan rakyat
2. Kabinet Soekiman (27 April 1951-23 Februari 1952)
Merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI. Dipimpin oleh Soekiman Wiryosanjoyo.
Program kerja :
a. Menjalankan berbagai tindakan tegas sebagai negara hukum untuk menjamin keamanan dan ketentraman serta menyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan negara.
b. Membuat dan melaksanakan rencana kemakmuran nasional dalam jangka pendek untuk mempertinggi kehidupan sosial ekonomi rakyat dan mempercepat usaha penempatan bekas pejuang dalam pembangunan
c. Menyelesaikan persiapan pemilu untuk membentuk Dewan Konstituante dan menyelenggarakan pemilu itu dalam waktu singkat serta mempercepat terlaksananya otonomi daerah
d. Menyampaikan Undang-Undang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama, penetapan upah minimum,dan penyelesaian pertikaian buruh
e. Menyelenggarakan politik luar negeri bebas aktif
f. Memasukkan Irian Barat ke wilayah RI secepatnya
3. Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya.Dipimpin oleh Mr. Wilopo.
Program kerja :
a. Mempersiapkan pemilu
b. Berusaha mengembalikan Irian Barat ke dalam pangkuan RI
c. Meningkatkan keamanan dan kesejahteraan
d. Perbaharui bidang pendidikan dan pengajaran
e. Melaksanakan politik luar negeri bebas dan aktif
4. Kabinet Ali Sastroamijoyo ( 1 Agustus 1953-24 Juli 1955 )
Kabinet ini merupakan koalisi antara PNI dan NU. Dipimpin oleh Mr. Ali Sastroamijoyo.
Program kerja :
a. Menumpas pemberontakan DI/TII di berbagai daerah
b. Memperjuangkan kembalinya Irian Barat kepada RI
c. Menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika
d. Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu.
e. Pembebasan Irian Barat secepatnya.
f. Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB.
g. Penyelesaian Pertikaian politik
5. Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Dipimpin oleh Burhanuddin Harahap.
Program kerja :
a. Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
b. Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru.
c. Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi.
d. Perjuangan pengembalian Irian Barat.
e. Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
6. Kabinet Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Kabinet ini merupakan koalisi antara tiga partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU.Dipimpin oleh Ali Sastroamijoyo.
Program kerjanya disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun, yaitu :
Program kerjanya disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun, yaitu :
a. Menyelesaikan pembatalan KMB
b. Pembentukan provinsi Irian Barat
c. Menjalankan politik luar negeri bebas aktif
d. Perjuangan pengembalian Irian Barat
e. Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota anggota DPRD.
f. Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
g. Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
h. Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
i. Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar negeri bebas aktif
j. Melaksanakan keputusan KAA.
7. Kabinet Djuanda ( 9 April 1957-10 Juli 1959 )
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yatu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya. Dibentuk karena kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-Undang Dasar pengganti UUDS 1950 serta terjadinya perebutan kekuasaan politik.
Dipimpin oleh Ir. Juanda.
Program kerjanya disebut Panca Karya (Kabinet Karya), yaitu :
Dipimpin oleh Ir. Juanda.
Program kerjanya disebut Panca Karya (Kabinet Karya), yaitu :
a. Membentuk dewan nasional
b. Normalisasi keadaan RI
c. Melanjutkan pembatalan KMB
d. Memperjuangkan Irian Barat kembali ke RI
e. Mempercepat pembangunan
Ternyata dengan adanya kinerja kabinet yang berbeda-beda ini telah memunculkan pertentangan dari perlemen karena konstituantenya gagal membentuk undang-undang. Konsekuensi dari kejadian kabinet yang berulang-ulang tersebut adalah munculnya tuntutan rakyat untuk segera dilakukan pemilihan umum, tujuannya adalah untuk menjembatani aspirasi rakyat yang belum tersalurkan oleh wakil dari partai-partai yang ada, serta diharapkan dapat mengakhiri ketidakstabilan politik. Akhirnya pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo I diselenggarakan pemilihan umum.
• Pemilu I, tanggal 29 Desember 1955 untuk memilih anggota parlemen (DPR).
• Pemilu II, tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Badan Konstituante.
Pada saat Indonesia menganut Demokrasi Parlementer dengan sistem multi partai, banyak sekali bermunculan partai politik. Buktinya pemilu pertama dalam sejarah Republik Indonesia pada tahun 1955 berdasarkan UU No. 7 tahun 1953 diikuti oleh 28 parpol yaitu : diantaranya Perti, Parkindo, Partai Katolik, PSI, PSII, Murba, dan IPKI dan yang lain partai gurem (partai kecil) dan beberapa partai dominan lainnya yakni : Masyumi, PNI, NU dan PKI.
Alasan mengapa empat partai tersebut menjadi partai dominan adalah karena :
Alasan mengapa empat partai tersebut menjadi partai dominan adalah karena :
- PNI merupakan partai politik tertua yang terbentuk sebelum Indonesia merdeka, dan ikut berperan dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan dari penjajah. Oleh karena itu partai ini telah mempunyai basis masa yang kuat.
- Masyumi dan Nahdatul ulama adalah partai politik yang berlandaskan agama islam. Karena Indonesia mempunyai jumlah penduduk muslim yang besar maka basis masa dari kedua partai politik ini juga kuat.
- PKI dekat dengan orang-orang pemerintahan diantaranya Ir. Soekarno. Dan PKI juga membentuk beberapa perkumpulan dibawah naungannya diantaranya serikat buruh, Gerakan Wanita Indonesia.
Tanpa kita sadari, ternyata masa tahun 1950 sampai 1959 ini sering disebut sebagai masa kejayaan partai politik, karena partai politik memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara melalui sistem parlementer yang berujung pada sistem partai politik yang multipartai.
Berikut dampak positif dan negatif adanya multipartai.
Berikut dampak positif dan negatif adanya multipartai.
Dampak Positif :
- Menghidupkan suasana demokratis di Indonesia.
- Mencegah kekuasaan presiden yang terlalu besar, karena wewenang pemerintah di pegang oleh partai yang berkuasa
- Menempatkan kalangan sipil sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dan pemerintahan.
Dampak Negatif :
- Sejumlah partai cenderung menyuarakan kepentingan kelompok sendiri, bukan banyak rakyat.
- Ada kecenderungsn persaingan tidak sehat, baik dalam parlemen maupun kabinet yang berupa saling menjatuhkan.
Walaupun pemilu dapat berlangsung dengan aman, lancar dan tertib, tetapi keadaan politik dan keamanaan belum stabil, hal ini di sebabkan oleh :
a. Badan kontituante gagal menyusun UUD.
Partai politik tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, sehingga kabinet jatuh bangun dan tidak dapat melaksanakan program kerjanya. Sebagai akibatnya pembangunan tidak dapat berjaan dengan baik.
b. Sering terjadi pertentangan antar politik.
Rapuhnya Koalisi antar partai sehingga sering terjadi pergolakan politik di parlemen.
c. Anggota DPR hasil pemilu belum dapat memenuhi harapan rakyat.
Peranan partai politik pada masa tersebut sudah menjadi sarana penyalur aspirasi rakyat, namun kurang maksimal karena situasi politik yang panas dan tidak kondusif. Dimana setiap partai hanya mementingkan kepentingan partai sendiri tanpa memikirkan kepentingan yang lebih luas yaitu kepentingan bangsa.
d. Partai politik hanya mempertahankan keyakinan partainya.
Partai politik pada zaman liberal diwarnai suasana penuh ketegangan politik, saling curiga mencurigai antara partai politik yang satu dengan partai politik lainnya. Hal ini mengakibatkan hubungan antar politisi tidak harmonis karena hanya mementingkan kepentingan (Parpol) sendiri.
e. Kebijkaan-kebijakan yang dalam pandangan parlemen tidak menguntungkan Indonesia ataupun dianggap tidak mampu meredam pemberontakan-pemberontakan di daerah.
Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945.
Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan ini membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950, serta pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu singkat. Dekrit presiden 5 Juli 1959 ini menjadi akhir dari sistem demokrasi parlementer dan mengawali sistem pemerintahan pada demokrasi terpimpin.
Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan ini membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950, serta pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu singkat. Dekrit presiden 5 Juli 1959 ini menjadi akhir dari sistem demokrasi parlementer dan mengawali sistem pemerintahan pada demokrasi terpimpin.
Kesimpulan
Demokrasi awal yang diberlakukan di Indonesia adalah demokrasi parlementer dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan parlemen. Demokrasi ini berlaku sejak kurun waktu 1945-1959 (yakni bermula dari pasca kemerdekaan Indonesia sampai dengan munculnya dekrit presiden 5 Juli 1959).
Dalam sejarahnya, Indonesia pernah mengalami pergantian kabinet selama 7 kali. Hal itu disebabkan karena ketidakmampuan konstituante untuk membentuk undang-undang serta adanya konflik antar parpol.
Selain itu, pada masa demokrasi ini pernah menerapkan UUD 1945, UU RIS, dan juga UUDS 1950. Mulanya demokrasi ini disetujui oleh bangsa Indonesia karena merujuk ke demokrasi liberal dimana kebebasan rakyat lebih diakui, terbukti dengan sistem multipartai dan menjamurnya parpol yang ikut andil dalam kursi pemilu tahun 1955.
Namun, ternyata dalam perjalanannya demokrasi ini tidak cocok diterapkan di Indonesia karena menimbulkan banyak penyimpangan, pergolakan, perpecahan, bahkan pemberontakan yang terjadi dimana-mana. Akhirnya muncullah dekrit presiden dari Soekarno yang menyatakan bahwa Indonesia kembali ke konstitusi UUD 1945 dan kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan sistem pemerintahan presidensiil. Hal ini menandai berakhirnya demokrasi parlementer yang beralih ke demokrasi terpimpin.
Selain itu, pada masa demokrasi ini pernah menerapkan UUD 1945, UU RIS, dan juga UUDS 1950. Mulanya demokrasi ini disetujui oleh bangsa Indonesia karena merujuk ke demokrasi liberal dimana kebebasan rakyat lebih diakui, terbukti dengan sistem multipartai dan menjamurnya parpol yang ikut andil dalam kursi pemilu tahun 1955.
Namun, ternyata dalam perjalanannya demokrasi ini tidak cocok diterapkan di Indonesia karena menimbulkan banyak penyimpangan, pergolakan, perpecahan, bahkan pemberontakan yang terjadi dimana-mana. Akhirnya muncullah dekrit presiden dari Soekarno yang menyatakan bahwa Indonesia kembali ke konstitusi UUD 1945 dan kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan sistem pemerintahan presidensiil. Hal ini menandai berakhirnya demokrasi parlementer yang beralih ke demokrasi terpimpin.
Sejarah merupakan acuan yang menjadi pijakan untuk menuju ke masa depan yang lebih gemilang. Sebagai generasi penerus bangsa, sudah selayaknya kita harus berupaya untuk mengisi kemerdekaan bangsa dengan cara mempertahankannya. Salah satu caranya adalah dengan mempelajari sejarah pelaksanaan demokrasi Indonesia. Hal ini menjadi penting manakala dijadikan referensi untuk membentuk sistem pemerintahan yang lebih baik melalui hikmah dan pelajaran yang didapatkan dari sejarah itu sendiri.